Gerimis melanda pagi ini, “Selagi bukan kiamat sih, terobos aja” prinsipku sekeluarga. Seragamku sedikit basah, tak apa, nanti juga kering. Sesampainya di sekolah, aku menurunkan tas yang penuh dengan gantungan dan pin ke meja kursiku.
Di samping sudah ada Mita di sana. “Orang aneh, pagi-pagi kok udah hujan sih?” gerutu Mita. “Namanya juga memasuki musim penghujan, lagian ngapa sih pagi-pagi udah bad mood?” tanyaku. Mita tak langsung menjawab, alih-alih menunjukkan layar ponselnya kepadaku.
“Hari ini kita udah mulai proyek lagi, Ka, harus dong bad mood?”
“Ngapain? Malah lebih asik tau nggak ada KBM.”
“NAH ITU! Aku jadi nggak bisa ketemu Pak Aji di pelajaran seni.
Sekejap aku menggelengkan kepalaku. Aduh Mita ini, giliran Pak Aji aja langsung good mood dia.
***
Seorang guru muda memasuki kelasku, ia memakai jilbab lengkap dengan kacamatanya. “Kelas 7C, habis senam Anak Indonesia Hebat langsung ke aula ya, nggak usah mampir. Gerimis bentar lagi juga berhenti, ayuk jangan malesan!” tegasnya. Mita sudah menatap malas melihat guru itu, aku sudah tahu apa isi hatinya kini.
“Yang malesin juga ini, Ka. Kita sering disuruh buru-buru, bukannya seneng nggak ada KBM, malah stres,” gerutu Mita lagi dan lagi.
“Aslinya aku juga kesel sih, tapi ya mau gimana lagi? Selama nggak merugikan kita.”
“RUGI, KA, RUGI! Ya kali kagak. Udahlah capek, tambah stres, belum lagi yang punya kondisi badan kurang fit. Aku lebih suka KBM daripada proyek aneh ini. Kenapa sih kita harus masuk Kurikulum Merdeka?”
“Mau jawaban benar atau nggak, Mit?”
Mita menatap ke arahku bingung, kali ini apalagi yang dia pikirkan.
“Urus dah.”
“Dengan Kurikulum Merdeka, siswa bisa lebih fokus pada pemahaman konsep daripada sekadar menghafal, sehingga belajar menjadi lebih menyenangkan dan bermakna. Selain itu, guru juga lebih fleksibel dalam mengajar dan bisa menyesuaikan materi dengan kemampuan serta minat siswa. Ini juga membantu siswa mengembangkan potensi mereka secara maksimal dan siap menghadapi tantangan di dunia nyata,” lanjutku.
Mita mengangguk sekilas dan menopang dagu dengan lengannya. “Sok iye lu. Ya udah yuk ke lapangan aja, bentar lagi mau bel,” ucap Mita.
Namaku Kartika. Sering dipanggil nengok, engga deng, panggil aja aku Kaka. Aku mempunyai teman bernama Paramita, Mita lebih tepatnya. Kita sudah berteman kurang lebih 7 tahun, dan kini kami menduduki kelas 7. Ini adalah kisah kami, kisah nyeleneh dan sedikit tidak masuk akal.
***
“Kartika dan Paramita kelas 7C dipanggil Bu Nayu di ruang guru.” Itu suara dari ruang informasi.
“Apaan coba? Belum juga ke lapangan,” ucap Mita.
“Bagus dong? Nggak ikut senam?”
Mita memutar bola matanya malas berjalan seperti orang ogah-ogahan.
“Saya lihat kalian tidak mematuhi aturan sekolah, ya?” ucap Bu Nayu.
“Apa yang dilanggar, Bu? Berangkat sekolah tepat waktu, seragam juga sesuai jadwal, emang ada apalagi?” tanyaku.
“Lihat sepatu kalian warna apa?” lanjut Bu Nayu.
“Hitam kok, Bu. Sampai sol sepatu juga hitam!” tegas Mita.
“Hitam apanya? Itu warna merk-nya merah. Kaka juga, ujung tali sepatumu warna putih!” ucap Bu Nayu lebih tegas.
“Ya Allah, Bu! Perkara ini doang. Kita udah pakai sepatu ini dari awal masuk sekolah, loh!” gerutuku.
“Saya tidak mau tahu, pokoknya kalian harus mengganti sepatu kalian hari ini juga!”
“Ada apa ini ribut-ribut?” ucap Pak Hesa. Dia wali kelas kami dan mengajar pelajaran IPA.
“Ini loh murid Bapak, melanggar peraturan sekolah.”
“Bukannya syarat jadi guru itu pintar ya, Bu?” celetuk Mita.
“Mita! SEMBARANGAN YA, KAMU! Menurutmu saya itu bodoh, ha?” teriak Bu Nayu.
Tanpa rasa bersalah, Mita mengangguk begitu antusias.
“Sudah-sudah. Lagi pula, Bu Nayu, ini cuma warna kecil doang. Tidak ada 10%-nya loh ini,” Pak Hesa menengahi.
“Bukan gitu loh, Pak. Mereka ini menganggap aturan sekolah sepele!”
“Nggak ada ya! Kita udah mematuhi semua peraturan semaksimal mungkin!” tegas Mita tak mau kalah.
“Murid Bapak juga membantah guru!”
“Sudahlah. Mereka juga masih peralihan puber, wajar dong kalau emosi mereka belum bisa diatur.”
“Berarti Bu Nayu yang umurnya udah 45 tahun juga masih puber ya? Emosinya sering nggak keatur.”
“SEMBARANGAN!!”
***
“Pulang bareng yuk, Ka. Sekalian aku mau main ke rumahmu,” ajak Mita di akhir pembelajaran.
“Boleh, emang kenapa dah tumben?”
“Biarlah, aku lagi bosen aja di rumah nggak ada siapa-siapa.”
“Ya udah, ayuk lah!”
***
Di perjalanan, kami berbagi cerita masing-masing. Dari mulai Mita yang hampir kesiangan, dan aku yang menerobos hujan pagi tadi.
“Ka, lihat deh,” ucap Mita sambil menunjuk ibu-ibu yang sedang membuang sampah di sungai.
“Samperin yuk!”
“Jangan ngarang deh, Mit!”
Mita tak menghiraukan ucapanku dan langsung menggeret tanganku.
“Anak SD juga tahu kali, Bu, nggak boleh buang sampah ke sungai,” sindir Mita.
Yang tersindir pun menoleh ke arah sumber suara. Ibu itu terlihat sudah kisaran hampir setengah abad, terlihat jelas dari keriput tipis di wajahnya.
“Mita!”
“Anak kecil kalian mana ngerti urusan saya!” ucap ibu itu tegas.
“Nggak ngerti gimana? Buang sampah di sungai aja udah bikin bumi rusak!” Lagi-lagi Mita tak mau kalah.
“Mita, udah ih!”
“Bukan gitu, Ka. Ibu ini jelas banget melanggar peraturan.”
“Peraturan apa, ha? Nggak ada tuh banner yang terpasang di sungai ini. Jadi bebas dong mau buang di mana aja.”
“Bu, jangan sok iye deh. Jelas-jelas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.”
“Aneh together!” kompak aku dan Mita tertawa menghiraukan ibu yang masih saja tidak mau mendengarkan.
“Gua timpuk lu lama-lama.”
Karya: Evelyn Casimira Rafifah (7C)